Hukum Perikatan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perikatan adalah suatu hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak
yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat
hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan.
Suatu persetujuan tidak hanya
mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala
sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan,
kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut
kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun
tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.
Manusia
hidup dan berkembang dalam suatu susunan masyarakat sosial yang mana di
dalamnya terdapat saling ketergantungan satu sama lain, seorang manusia tidak
akan dapat hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan orang yang lain untuk
mendampingi hidupnya.
Berbicara
mengenai kehidupan masyarakat tentu tidak terlepas dari yang namanya kehidupan
sosial, dalam struktur kehidupan bermasyarakat tentu terdapat berbagai hal yang
dianggap sebagai pengatur yang bersifat kekal, mengikat dan memiliki sanksi
yang tegas bagi para pelanggarnya. Hal
tersebut dapat dikatakan sebagai hukum. Hukum yang kini akan kita bahas
merupakan hukum yang mengatur segala bentuk tindakan antar perseorangan atau antar
sesama manusia, hukum ini dapat kita sebut sebagai hukum perdata.
Dalam
hukum perdata ini banyak sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya, salah
satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan
harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas
sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta
kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian
atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam
hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan
undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak,
dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum,
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan ada
perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud
dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya
positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Dalam perikatan
terdapat beberapa pokok bahasan diantaranya: Ketentuan Umum Perikatan, Prestasi
dan Wanprestasi, Jenis-Jenis Perikatan, Perbuatan Melawan Hukum, Perwakilan
Sukarela, Pembayaran Tanpa Utang dan Hapusnya Perikatan.
B. Pokok Permasalahan
Adapun ruang lingkup pokok permasalahan yang akan dibahas, terdiri atas :
- Pengertian Dasar Hukum Perikatan
- Dasar Hukum Perikatan
- Azas-azas dalam Hukum Perikatan
- Wanprestasi dan akibat-akibatnya
- Hapusnya Perikatan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dasar Hukum Perikatan
Hukum
perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa
hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa
perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property),
juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum
waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut
ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah
memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan
yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau
lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Di
dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat
sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan
sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu
untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam
perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat
tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah perjanjian agar memotong
rambut tidak sampai botak
Pengertian Hukum Perikatan Menurut Para Ahli
Hukum perikatan menurut Pitlo adalah
Suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan
antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu memiliki hak
(kreditur) dan pihak yang lain memiliki kewajiban (debitur) atas suatu
prestasi.
Hukum perikatan menurut Hofmann adalah
Suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas
subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang
daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu
terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Pengertian Hukum Perikatan Secara Umum
Oleh karena terdapat perbedaan dalam pengertian
perikatan menurut para ahli, maka diperlukan suatu pengertian yang bersifat
umum, yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau pegangan dalam mengartikan hukum
perkatan. Pengertian hukum perikatan yang umum digunakan dalam ilmu
hukum adalah:
Suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda
antara dua orang yang memberi hak kepada pihak yang satu untuk menuntut sesuatu
barang dari pihak yang lainnya sedangkan pihak yang lainnya diwajibkan untuk
memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut adalah pihak yang
berpihutang (kreditur) sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan
pihak berhutang (debitur) sementara barang atau sesuatu yang dapat dituntut
disebut dengan prestasi.
B. Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber
hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan
sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan
hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan
KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
- Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
- Perikatan yang timbul dari undang-undang
- Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan
undang-undang :
1.
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata )
: Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.
Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu.
2.
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata
) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH
Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang
atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
C. Azas – azas dalam Hukum Perikatan
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang
dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang,
maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk :
- Membuat atau tidak membuat perjanjian;
- Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
- Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
- Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak
adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman
Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman
renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes,
John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas
untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam
“kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible
hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah
sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan
kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan
kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak
yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal
1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas
ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan
secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh
kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum
Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas
konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan
perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan
dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan
perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya,
yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus
verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya
perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme
yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Asas konsnsualisme
dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt.
Pasal 1320 KUHPdt
: untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :
(1) Sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya
(2) Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian
(3) suatu hal
tertentu
(4) suatu sebab
yang halal.
Pengertian
kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang disetujui
antara pihak-pihak ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
3. Asas
Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas
pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.
Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya
sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja.
Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada
kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini
mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak
merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum,
yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata
sepakat saja.
4. Asas Itikad
Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat
(3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur
harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi
menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.
Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan
sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua,
penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang
obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
yang objektif.
5. Asas
Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan
bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk
kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal
1340 KUHPdt.
Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya
seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya
sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu
perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Dari kelima asas
utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum perikatan nasional, yaitu :
- Asas kepercayaan;
- Asas persamaan hukum;
- Asas keseimbangan;
- Asas kepastian hukum;
- Asas moral;
- Asas kepatutan;
- Asas kebiasaan;
- Asas perlindungan;
D. Wanprestasi dan akibat – akibatnya
Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana
seorang berjanji kepada seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk
dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu :
- perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya jual beli, tukar menukar, penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai.
- perjanjian untuk berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan.
- Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain.
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat
antara kreditur dengan debitur.
Ada empat kategori dari wanprestasi, yaitu :
- Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
- Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
- Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Akibat-akibat wanprestasi berupa hukuman atau
akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, dapat digolongkan
menjadi tiga, yaitu :
- Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur ( ganti rugi )
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur,
yakni :
- Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.
- Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabot rumah.
- Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.
2. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Di dalam
pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH
Perdata. Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali
pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu
berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak
sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu
harus dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan.
3. Peralihan
resiko
Adalah
kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan
salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan
Pasal 1237 KUH Perdata. Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur
disebutkan dalam pasal 1237 KUHPer. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah
kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan
salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Peralihan resiko dapat digambarkan demikian :
Menurut pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual
beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum
diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka
kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si
penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih kepada dia.
4. Membayar Biaya Perkara
Tentang
pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur
yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang
dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.
Menurut pasal 1267 KUHPer, pihak kreditur dapat
menuntut si debitur yang lalai untuk melakukan :
- pemenuhan perjanjian;
- pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
- ganti rugi saja;
- pembatalan perjanjian; pembatalan disertai ganti rugi.
E. Hapusnya Perikatan
Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud
berakhirnya perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya
hapusnya perikatan.
Pasal 1381 secara tegas
menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah :
- Pembayaran.
- Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi)
- Pembaharuan utang (novasi).
- Perjumpaan utang atau kompensasi.
- Percampuran utang (konfusio).
- Pembebasan utang.
- Musnahnya barang terutang.
- Batal/ pembatalan.
- Berlakunya suatu syarat batal.
- Dan lewatnya waktu (daluarsa).
Pembayaran
Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang
oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk
uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak
hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter,
tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
Konsignasi
Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak
pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran
pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat
menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.
Novasi
Novasi adalah sebuah persetujuan, dimana suatu
perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan,
yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan
suatu novasi atau pembaharuan utang yakni :
- Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang
mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama
yang dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif.
2. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk
menggantikan orang berutang lama, yang oleh
siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini
dinamakan novasi subjektif pasif).
3. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru,
seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa
si berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif aktif).
Kompensasi
Yang dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan
masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat
ditagih antara kreditur dan debitur.
Konfusio
Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang
yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu. Misalnya si
debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya,
atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.
Penutup
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan :
- Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alas an
- Keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa ebitor tidak dapat disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitor.
- Ganti kerugian hanya berupa uang bukan barang, kecuali jika diperjanjikan lain. Untuk melindungi debitor dari tuntutan sewenang-wenang dari pihak kreditor, Undang-Undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang wajib dibayar oleh debitor sebagai akibat dari kelalainnya (wanprestasi)
- Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt).
- Figur hukum yang diatur dalam Pasal 1354 KUH Perdata ini disebut perwakilan sukarela (zaakwaameming). Penyelenggaraan urusan itu bersifat sukarela tanpa kuasa dari pihak berkepentingan. Urusan itu dilakukan secara sukarela dengan tujuan agar memperoleh kemanfaatan bagi pihak yang berkepentingan dan perbuatan tersebut diakui serta dibenarkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, ketentuan undang-undang tersebut menciptakan perikatan. Jadi, yang meciptakan perikatan itu bukanlah perbuatan orang, melainkan ketentuan undang-undang itu sendiri.
- Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan. Yaitu : pembayaran, penawaran, pembayaran tunai diikuti penitipan, pembayaran utang, perjumpaan utang, pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya benda yang terutang, karena pembatalan, berlaku syarat batal dan lampau batas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. Marilang, SH., M.Hum. Hukum
Perikatan, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, Makassar, 2015
2.
Setiawan.
1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan.
Bandung: Bina Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar